Wahai Gereja Katolik, sisi sejarah mana yang hendak kau pilih? Pelaku, atau korban?

Evi Mariani
4 min readSep 4, 2020

--

Tiga puluh tujuh petinggi Gereja Katolik Indonesia berkunjung ke Vatican pada Desember 2019. Sumber foto: Asianews.it

Evi Mariani, The Jakarta Post, Jakarta

“Marilah kepadaku, kamu yang lelah dan menanggung beban. Aku akan memberi kelegaan kepadamu,” — Matius 11:28.

Di tahun-tahun ketika saya tumbuh sebagai seorang Katolik di Bandung, potongan ayat ini tertulis di sebuah lengkung di atas altar Katedral Bandung, salah satu gereja yang sering saya kunjungi sewaktu saya SMA.

Ayat itu sungguh saya simpan di dalam hati, dan Gereja Katolik, dalam benak saya, adalah sebuah institusi yang menawarkan kasih sayang melimpah kepada orang-orang yang lelah dan menanggung beban.

Namun, kejadian-kejadian dalam beberapa tahun belakangan ini memperlihatkan bahwa Gereja Katolik itu tidak sempurna, walaupun Paus sekarang, Francis, menunjukkan bahwa kasih sayang tetap merupakan nilai paling penting Gereja.

Bersama teman-teman lain di The Jakarta Post, saya terlibat dalam sebuah kerja investigatif dengan teman-teman Tirto.id untuk mengungkap dugaan kasus-kasus pelecehan seksual dalam Gereja Katolik, dan upaya Gereja untuk menutup-nutupinya. Pengalaman investigasi ini menunjukkan pada saya ketidaksempurnaan lembaga agama ini lebih jauh: Gereja Katolik tidak selalu menawarkan kasih sayang bagi korban pelecehan dan kekerasan seksual, para kaum lelah dan menanggung beban.

Gereja Katedral Bandung. Sumber foto: Wikimedia Commons/Albertus Aditya

Untuk liputan ini awalnya kami berbicara kepada lima orang korban dan kemudian, setelah sekumpulan laporan pertama kami muncul, ada dua orang korban lagi berbicara pada kami. Lima dari tujuh orang ini mengatakan bahwa mereka menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh pastor yang ditahbiskan; dua dari mereka mengatakan dilecehkan oleh seorang frater dan seorang awam yang bertindak sebagai koordinator anak-anak altar.

Enam dari tujuh korban menderita pelecehan sewaktu mereka anak-anak dan diam selama beberapa dekade. Sebagian besar dari mereka baru menyadari bahwa mereka adalah korban pelecehan seksual ketika tumbuh dewasa dan merasa enggan untuk melaporkan orang-orang yang mereka hormati karena berbagai alasan.

Empat dari mereka harus menghadapi fakta bahwa terduga pelaku, seorang pastor, tetap berada di paroki di Jakarta Barat di mana mereka menjadi umatnya, dengan akses ke anak-anak di sebuah sekolah terdekat.

Saya pernah berbicara kepada beberapa koran pelecehan seksual, dan dari pengalaman tersebut, saya belajar bahwa mendapatkan kepercayaan mereka untuk berbicara kepada orang lain tidaklah mudah. Diperlukan empati, pemahaman dan pengetahuan tentang psikologi orang-orang yang lelah dan menanggung beban.

Ketika ditanya apakah ordo Karmel akan membuka penyelidikan atau mendatangi para korban, Romo Budiono, kepala Ordo Karmel di Indonesia, mengatakan kepada The Jakarta Post: “[Korban] harus melaporkan langsung kepada kami [ordo], lengkap dengan nama dan alamat,” ungkapnya.

Dia juga mengatakan bahwa para korban bisa melaporkan melalui telepon.

Pernyataan seperti itu seolah menyambut hangat laporan, tetapi ia bersyarat, sehingga korban, yang sudah takut, mungkin ragu untuk melaporkan. Pernyataan itu tidak membuat korban bisa percaya mereka akan didengarkan tetapi lebih menunjukkan bahwa ordo Karmel enggan mendengarkan laporan yang tidak memenuhi persyaratan mereka.

Kami sudah berusaha bertanya kepada kepala baru paroki Maria Bunda Karmel, Romo Krispinus Ginting, tentang kemungkinan meluncurkan investigasi internal terhadap dugaan peran salah seorang rekan pastornya. Romo Ginting tidak menanggapi pertanyaan kami.

Padahal Vatikan pada Juli tahun ini mengeluarkan panduan menginvestigasi dan melaporkan dugaan kasus-kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur dan lainnya oleh kaum klerus.

Pedoman itu menetapkan, antara lain, bagaimana melakukan investigasi awal setelah menerima “dugaan pelanggaran”. Informasi mengenai dugaan pelanggaran bisa bersumber dari media, termasuk media sosial, demikian kata pedoman tu.

Ini menunjukkan bahwa laporan bersama kami mestinya sudah cukup bagi otoritas Gereja untuk menemukan dugaan pelanggaran dan memulai penyelidikan pendahuluan.

Beberapa pendamping korban pelecehan seksual di Gereja Katolik pada umumnya masih beranggapan bahwa kebijakan Vatikan tentang pelecehan seksual tidak cukup. Akan tetapi, dalam kasus Gereja Katolik Indonesia, kebijakan yang “tidak memadai” itu pun tidak dilaksanakan.

Sesungguhnya beberapa orang di Gereja Katolik telah berbicara terbuka mengenai hal ini. Ketika seorang pastor, Romo Joseph Kristanto, berbicara tentang kasus pelecehan seksual di Gereja dalam sebuah seminar tahun lalu, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah majalah Katolik, orang paling berkuasa di Gereja Katolik Indonesia, Ignatius Kardinal Suharyo, menegur Romo Kristanto dan menyangkal kebenaran data yang disampaikan sang pastor.

Tindakan penyangkalan ini tampaknya mengilhami pejabat tinggi lain di Gereja. Kami mewawancari 10 pastor untuk laporan ini. Sebagian dari mereka tidak menjawab, sebagian lagi menyangkal informasi tentang kasus mana pun, salah seorang mengakui pernah mendengar sebuah kasus tetapi menolak memasuki detailnya, dan mereka yang bersedia kami wawancarai tidak membicarakan tentang kasus-kasus aktual dan bagaimana Gereja menangani kasus-kasus tersebut, kecuali untuk kasus di Gereja St. Herkulenus di Depok, Jawa Barat, yang tidak melibatkan kaum klerus.

Pengetahuan saya tentang korban mungkin terbatas, tetapi sepanjang yang saya tahu, saya berani mengatakan bahwa Gereja Katolik Indonesia tidak membantu korban sehingga mereka merasa aman ketika melaporkan pelecehan.

Ada beberapa perkecualian, seperti janji ordo Serikat Yesus untuk membentuk sebuah protokol pelaporan, yang meliputi orang awam, termasuk perempuan. Tetapi secara keseluruhan, Gereja Katolik Indonesia tidak mengikuti perubahan di Vatikan.

Umat manusia saat ini sedang berada pada titik penting sejarah: gelombang #MeToo membuat semakin banyak korban berbicara dan di saat yang sama Vatikan sedang memreteli puluhan tahun budaya diam dan kerahasiaan mereka. Di persimpangan sejarah ini, wahai Gereja Katolik Indonesia, sisi sejarah mana yang engkau pilih? Di sisi korban, atau di sisi pelaku?

“Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapatkan ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKu pun ringan.” — Matius 11:29–30.

Versi bahasa Inggris tulisan ini telah dimuat di The Jakarta Post. Silakan klik untuk membaca artikel orisinalnya. Artikel ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Noor Cholis.

--

--

Evi Mariani
Evi Mariani

Written by Evi Mariani

Journalist and founder of public service journalism initiative, Project Multatuli, at projectmultatuli.org.

Responses (1)