Untuk Bang Daniel Dhakidae, kepada siapa saya belajar tentang martabat

Banyak cendekiawan mangkir dari ilmunya ketika dihadapkan pada kekuasaan. Bang Daniel tidak mangkir sampai akhir.

Evi Mariani
5 min readApr 6, 2021
Sebagian dari buku-buku yang ditulis, disunting, atau memuat tulisan Daniel Dhakidae.

Saya tidak suka orang sombong. Tapi saya punya perkecualian satu orang “sombong” yang saya hormati dan kagumi sepanjang lebih 20 tahun kami berteman.

Saya memanggil beliau Bang Daniel Dhakidae. Orangnya sombong. Dia pernah cerita Bahasa Inggris dia bagus sekali sehingga gampang saja dia masuk Cornell University di Amerika Serikat pada tahun 1984. Dia juga bercerita dia berlangganan Der Spiegel, sebuah majalah terpandang berbahasa Jerman, tentu karena dia mengerti Bahasa Jerman. Latin pun ia menguasai, suatu ilmu yang didapat dari dua seminari di Flores, St. Johanes Berchmans di Todabelu dan St. Peter di Ritapiret.

Sebagai mahasiswa S1 yang bahasa Inggrisnya masih pas-pasan, tidak pernah belajar bahasa Latin apalagi Jerman, saya sempat mbatin: Ih sialan, sombong amat dia. Apalah aku ini di hadapan beliau.

Dalam Bahasa Inggris mungkin lebih tepat: Bang Daniel is a proud, dignified man. Was a proud, dignified man.

Setelah kenal dengan Bang Daniel saya baru memahami, saya tidak punya masalah dengan orang yang tahu apa kelebihannya dan mengatakannya dengan “lempeng” seperti mengabari “Pagi ini cerah”. Saya, dan mungkin banyak orang, punya masalah dengan orang yang mengaku-aku yang tidak benar tentang dirinya dan terutama, merendahkan orang lain. Bang Daniel, sepanjang saya mengenalnya, tidak pernah merendahkan orang lain. Baik pujian maupun kritikan yang dia berikan untuk orang lain selalu pas.

Di tahun 2015, Bang Daniel menulis buku tentang 15 orang yang Menerjang Badai Kekuasaan. Dalam satu pertemuan, dia memberikan buku itu pada saya dengan catatan: “I hope you’ll enjoy reading about these angels and devils, defended themselves against power to develop the human dignities.”

Dalam buku itu memang dia menulis tentang tiga orang yang di zaman Orde Baru disebut kriminal: Muksin Tamnge, Kusni Kasdut, dan Henky Tupanwael. Tapi saya tidak akan kaget juga kalau ternyata yang dia maksud “angels” dan “devils” tidak sehitam putih yang kita pikir.

Pemikiran-pemikiran Bang Daniel tajam (incisive) ketika menganalisis manusia dan peristiwa. Tulisan-tulisannya bersih dari penghakiman tetapi juga di sana dan di sini, ada luapan emosi yang pas, yang membuat pembaca bergelora.

Bang Daniel menulis menggunakan tanda seru! Sebagai sesama penulis, saya paham betul, tanda seru bukan sembarang tanda baca. Tidak seperti tanda tanya yang bisa kita gunakan di tulisan tanpa berpikir panjang, kita harus berpikir berulang-ulang ketika memutuskan menggunakan tanda seru. Tapi tanda seru Bang Daniel selalu pas, selalu ada di tempat yang terbaik.

Saya pertama kali “mengenal” Bang Daniel dari disertasi beliau: The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry”. Disertasi yang terbit tahun 1991 itu beredar di kalangan mahasiswa Universitas Gadjah Mada, terutama di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, di tahun 1990an. Sebagai mahasiswa yang memiliki aspirasi menjadi jurnalis, saya memfotokopi disertasi dia.

Sampai hari ini, disertasi tersebut masih menjadi satu rujukan terbaik mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia. Saya harap semua jurnalis membacanya. Beliau menggambarkan dengan analisis yang terang bagaimana Orde Baru membunuh surat kabar-surat kabar yang politis dan menggelar keadaan di mana Kompas, sebuah surat kabar dari Partai Katolik yang kecil dan tidak terlalu dipandang, naik menjadi koran terbesar hingga saat ini.

Disertasinya merupakan kritik tajam bagi Kompas, tetapi Kompas malah merekrut Bang Daniel menjadi kepala Penelitian dan Pengembangan (Litbang Kompas). Waktu saya mahasiswa di tahun 1990an, kami menganggap Litbang Kompas, di bawah kepemimpinan Bang Daniel, sebagai satu institusi yang sangat keren.

Di tahun 1999, kalau tidak salah, saya berpapasan dengan buku tentang precision journalism, suatu praktik yang berkembang menjadi jurnalisme data hari ini. Ketika saya membaca buku itu, saya berpikir, ini adalah jurnalismenya Litbang Kompas dan kami, para mahasiswa, perlu belajar dari Litbang Kompas. Di tahun-tahun itu, mahasiswa sering kirim-kirim proposal acara seminar pada beberapa media, untuk dijadikan sponsor. Saya iseng kirim proposal ke Litbang Kompas. Ini proposal pencarian dana saya yang pertama sepanjang hidup.

Suatu hari, ada telepon dari Litbang Kompas masuk ke pesawat telepon kos-kosan saya di Yogyakarta. Bang Daniel sendiri yang menelepon saya, beliau mengatakan sudah membaca proposal dan tertarik untuk membiayai. Saya gugup setengah mati. Di ujung kabel telepon di Jakarta, adalah seseorang yang namanya saya tulis di banyak catatan kaki di makalah-makalah saya di Ilmu Komunikasi UGM. Disertasi beliau juga yang saya jadikan rujukan pengetahuan untuk penelitian saya mengenai surat kabar partai di tahun 1950an.

Sejak saat itu, Bang Daniel menjadi mentor saya bukan hanya mengenai jurnalisme dan pemikiran intelektual tetapi juga mengenai berpikir tajam dan adil, dan bagaimana menjadi seseorang yang bermartabat sampai akhir.

Setiap saya mengalami naik turun dalam hidup, saya mengabari beliau. Ketika saya memutuskan mundur dari The Jakarta Post dan membuat inisiatif jurnalisme saya sendiri saya pun bercerita. Beliau selalu mendukung saya, termasuk memberi saya pekerjaan kecil, menerjemahkan satu artikel untuk Prisma, karena beliau khawatir saya kekurangan uang setelah tidak bergaji tetap lagi.

Terakhir saya berkomunikasi dengan beliau adalah ketika saya mengirimkan pitch deck untuk Project Multatuli, inisiatif jurnalisme terbaru saya, pada tanggal 31 Maret 2021, kurang dari seminggu sebelum beliau meninggalkan dunia ini. Beliau memberi komentar pada proposal kami, dan saya dengan bangga sebar-sebarkan komentar beliau pada teman-teman lain. Sampai akhir, beliau selalu menjadi mentor saya sehingga kata-kata singkat dari beliau sungguh terasa berharga.

Beliau sendiri jarang cerita pada saya. Dia hanya sempat cerita sedikit, betapa dia kesulitan menghadapi kematian istrinya, Lilly Dhakidae pada tahun 2019. Dalam setiap ucapan terima kasih yang beliau tulis dalam bukunya, Bang Daniel selalu menyebut “Lilly” sebagai orang yang menjadi “mandor tanpa persetujuan penulis” sehingga buku bisa selesai. Dia juga tidak mengatakan pada saya bahwa, ternyata, ketika kami bercakap-cakap singkat di aplikasi pesan dia sudah beberapa kali harus ke rumah sakit. Saya mendapatkan cerita ini dari seseorang yang mengetahui dari sopirnya, tetapi diminta merahasiakan.

Bang Daniel adalah seorang intelektual yang terhormat sampai akhir hayatnya. Banyak cendekiawan mangkir dari ilmunya ketika dihadapkan pada kekuasaan. Pada tahun 2003, Bang Daniel menyunting buku “Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru”, sebuah buku yang “memeriksa kaum cendekiawan dalam pergulatannya dengan kekuasaan, modal, dan kebudayaan…”.

Ketika polarisasi politik di tahun-tahun terakhir memecah belah rakyat Indonesia, dan mengulang episode-episode “Cendekiawan dan Kekuasaan”, Bang Daniel tidak goyah. Konsisten dengan apa yang dia analisis dan tulis, Bang Daniel tidak pernah merapat pada kekuasaan, sesuatu yang sejak beliau muda, kalau mendengar cerita-cerita pemberontakan beliau di berbagai institusi, tidak pernah “appealing” atau menarik baginya.

Sebagai pemimpin dan orang penting dalam Jurnal Prisma, sebuah jurnal populer terpandang yang bereputasi baik, Bang Daniel berhasil menorehkan kepercayaan rakyat pada para cendekiawan di Indonesia, bahwa terus menerus bersikap kritis pada kekuasaan adalah mungkin, dan hal terhormat yang bisa dilakukan seseorang.

Sebagai seseorang yang lebih muda daripada para tokoh seumuran Bang Daniel (75 tahun ketika beliau meninggal) saya kerap melihat orang-orang tua yang menjadi tidak lagi terhormat. Sering saya berkata pada diri saya sendiri, jangan sampai nanti saya jadi begitu kalau tua.

Bang Daniel adalah seorang mentor, senior yang saya hormati, dengan integritas yang utuh, sampai akhir. Saya ingin seperti beliau, meninggalkan dunia ini dengan tanpa penyesalan setitik pun tentang kepada siapa saya berpihak sepanjang hidup saya.

Evi Mariani

Jurnalis, Project Multatuli, 6 April 2021

--

--

Evi Mariani
Evi Mariani

Written by Evi Mariani

Journalist and founder of public service journalism initiative, Project Multatuli, at projectmultatuli.org.

Responses (1)