Ilmuwan tawarkan solusi lebih murah dari Great Garuda untuk amblesan Jakarta

Evi Mariani
4 min readJun 30, 2016

--

Evi Mariani

The Jakarta Post/Jakarta | 20 Mei 2016

Ilmuwan dari berbagai universitas dan konsultan Belanda Deltares menawarkan alternatif yang lebih murah terhadap usulan untuk menangkal banjir rob di Jakarta yang mengalami amblesan dengan membangun tembok laut raksasa yang disebut sebagai Great Garuda, yang akan menutup Teluk Jakarta.

Proyek ini akan memakan biaya sebesar US$20,3 miliar dalam bentuk public-private partnership (PPP) selama 15 tahun.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah memerintahkan jajaran pemerintahan untuk melanjutkan proyek tanggul laut, yang juga disebut sebagai National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Presiden yakin bahwa Great Garuda adalah jawaban untuk masalah amblesan tanah di Jakarta.

“Pembangunan pesisir di Jakarta Utara, NCICD [National Capital Integrated Coastal Development] yang sudah digagas cukup lama ini pun akan menjadi sebuah jawaban untuk Jakarta,” kata Jokowi di bulan April, kira-kira seminggu setelah ia berkunjung ke Uni Eropa, termasuk Belanda.

Pemerintah pusat mengatakan proyek kontroversial reklamasi 17 pulau juga akan dilanjutkan sebagai bagian dari paket NCICD.

Skandal suap mengguncang proyek 17 pulau dan pemerintah pusat telah menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan dua raksasa pengembang Agung Sedayu dan Agung Podomoro dalam proyek reklamasi.

Para ilmuwan mengungkapkan menutup Teluk Jakarta bukanlah jawaban terhadap masalah amblesan atau penurunan muka tanah, karena meskipun tanggul raksasa dibuat, Jakarta akan tetap ambles. Para cendekiawan mengatakan bahwa solusi dari amblesan tanah adalah menghentikan eksploitasi air tanah dan membatasi pembangunan gedung di beberapa titik yang menurun secara cepat, seperti Jakarta Utara, atau menggunakan teknologi bangunan yang tidak membebani tanah terlampau banyak.

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Bernardus Djonoputro, mengatakan bahwa “Great Garuda seperti jatuh dari langit,” karena ia melompati beberapa langkah logis sebelum memutuskan untuk membangun tanggul.

Muslim Muin dari Institut Teknologi Bandung, yang mendapat gelar doktor di bidang teknik kelautan dari University of Rhode Island, mengatakan bahwa Belanda dan St. Petersburg di Rusia membutuhkan tanggul laut raksasa untuk perlindungan dari badai laut (storm surges), yaitu ancaman yang datang dari laut. “Tapi di Jakarta ancaman lebih serius, ia datang dari daratan, dari penurunan muka tanah, bukan dari naiknya permukaan air laut,” kata Muslim pada acara focus group discussion para ilmuwan di Goethe Institute in Jakarta.

NCICD menunjukkan bahwa Jakarta ambles di angka rata-rata 7,5 hingga 10 cm per tahun, dengan angka maksimum di beberapa wilayah sebesar hampir 18 cm. Data NCICD menunjukkan bahwa 20 tahun ke depan, Jakarta akan ambles hingga 50 cm atau lebih, dengan demikian Great Garuda dianggap dibutuhkan segera.

Muslim memaparkan sejumlah masalah yang mungkin timbul dari membangun tanggul laut raksasa, antara lain ongkos pemeliharaan pompa raksasa dengan kapasitas paling tidak 730 meter kubik air per detik yang dibutuhkan Great Garuda.

Bahkan, kata Muslim, dalam perhitungan dia dengan menimbang volume air dari 13 sungai di Jakarta, Great Garuda membutuhkan pompa lebih besar, hingga 1.100 meter kubik per detik. Saat ini tercatat pompa air tanggul terbesar di dunia adalah sebesar 600 meter kubik per detik.

“Memperkuat tanggul yang sudah ada di sepanjang pesisir Jakarta Utara sudah cukup. Membangun tanggul raksasa adalah salah besar. Biaya operasionalnya akan sangat tinggi,” kata Muslim.

Masterplan NCICD memperkirakan bahwa biaya pemeliharaan Great Garuda akan mencapai 69 juta dolar setahun atau kurang lebih Rp 924 miliar.

Memperkuat tanggul yang sudah ada telah termasuk dalam program NCICD Tahap A yang disebut-sebut sebagai: kebijakan tanpa penyesalan (no-regret policy).

Salah satu konsultan Belanda yang ikut membuat master plan NCICD, Deltares, menulis laporan berjudul “Sinking cities: An integrated approach towards solutions”, (Kota-kota ambles: Pendekatan terpadu menuju solusi), yang membahas tempat-tempat yang ambles lebih cepat dari pada kenaikan permukaan air laut: Jakarta, Bangkok, Ho Chi Minh City, Tokyo, Manila dan Belanda bagian Barat.

Laporan yang terdiri dari lebih 5.000 kata tersebut tersedia di deltares.nl dan tidak mengandung kata “seawall” (tanggul) satu pun. Laporan tersebut menawarkan 10 isu kunci dan kemungkinan solusi dan lagi-lagi, tak satu pun solusi menyebut soal tanggul laut, raksasa atau tidak.

Salah satu dari solusi adalah membatasi pengambilan air tanah, menyediakan sumur resapan untuk isi ulang air tanah secara alami ataupun artifisial, pengelolaan banjir perkotaan yang terpadu (yang tidak menyebut apapun soal tanggul), dan keterpaduan aspek geoteknis dalam perencanaan dan perancangan bangunan dan infrastruktur.

Alan Koropitan dari Insitut Pertanian Bogor mengatakan bahwa alih-alih menutup Teluk Jakarta dengan Great Garuda dan membangun pulau buatan, Jakarta seharusnya membersihkan sungai-sungainya yang terpolusi berat. “Tentu akan sulit, tapi jika berhasil dilaksanakan, maka akan jadi kebanggaan nasional,” kata Alan, yang mendapatkan gelar doktornya dari Hokkaido University di bidang kelautan.

Air sungai yang bersih akan menjadi sumber air baku yang akan membantu mendorong peningkatan akses terhadap air pipa hingga 100 persen sehingga pembatasan pengambilan air tanah menjadi mungkin. Saat ini akses warga Jakarta terhadap air pipa bertahan di angka 60 persen, salah satunya akibat dari jumlah air baku yang datang dari Waduk Jatiluhur dan Tangerang tidak cukup. Laporan Deltares juga menunjukkan bahwa Tokyo berhasil menghentikan amblesan setelah mereka menghentikan pengambilan air tanah pada awal 1960an dan kemudian amblesan melamban dan dalam waktu 10 tahun hampir mencapai 0 cm.

JanJaap Brinkman dari Deltares pernah mengatakan pada The Jakarta Post dalam sebuah email di bulan Oktober tahun lalu bahwa, “Solusi termurah dan termudah adalah menghentikan amblesan. Satu-satunya yang perlu dilakukan Jakarta adalah menghentikan pengambilan air tanah dari sumur dalam dan amblesan akan berhenti dalam waktu 10 tahun. Maka, Jakarta tidak akan perlu menutup Teluk Jakarta, kalian tidak perlu tanggul laut raksasa. Tentu saja kalau mau Jakarta bisa mengembangkan pelabuhan dan bisa mengembangkan pembangunan pesisir Jakarta, tapi Teluk Jakarta tidak perlu ditutup.”

Diterjemahkan dari: Cheaper solution for subsidence offered

--

--

Evi Mariani
Evi Mariani

Written by Evi Mariani

Journalist and founder of public service journalism initiative, Project Multatuli, at projectmultatuli.org.

No responses yet