Duka Ini Tak Tuntas: Tulisan untuk Kita yang Kehilangan Cara Berduka
Pandemi telah menghilangkan ritual dan penanda kita dalam berduka ketika ditinggalkan keluarga dekat. Rasa duka saya bergentayangan di ruang ambang, tidak tuntas.
“Di mana rumah dukanya, Vi?”
Beberapa teman bertanya pada hari Rabu siang, 30 Juni 2021, beberapa jam setelah papa saya meninggal dunia di sebuah ruang isolasi Instalasi Gawat Darurat di Cibubur, kabupaten Bogor.
Tidak ada rumah duka bagi papa, yang meninggal pada 29 Juni 2021 pukul 21:23 WIB karena gagal napas yang dipicu oleh Covid-19. Ini masa wabah dan jenazah papa ditutup rapat-rapat dalam sebuah peti putih bertanda salib dan bergambar lukisan Perjamuan Terakhir, yang dibalut plastik.
Tidak ada pastor yang mendoakan papa sebelum petinya masuk oven kremasi di Cikadut, Bandung. Tidak ada lagu-lagu duka. Bahkan tidak ada foto papa di dekat peti. Kami, anak pertama, kedua, dan saya ketiga, berdiri dengan canggung dan bingung di depan peti, segera setelah kami tiba dari perjalanan bersama ambulance yang membawa jenazah papa selama 3 jam dari Cibubur. Kami sebenarnya berusaha mencari tempat kremasi terdekat di Jabodetabek, tapi rupanya tiga tempat kremasi yang bisa untuk Covid-19 (Cibinong, Oasis, Lestari) sudah penuh semua, bahkan antre sampai tiga hari baru bisa dapat slot. Setelah telepon kiri kanan akhirnya kami mendapat tempat kremasi di Bandung.
Meski kami berangkat ke Bandung, kami tidak bisa mampir ke rumah mama di Bandung karena mama dan adik sedang isolasi mandiri. Kami tidak bisa berpelukan dan bersedih bersama. Saya bahkan tidak berpelukan dengan kedua kakak saya karena situasinya sudah terlalu aneh, dan kami separo parno dengan virus sepanjang jalan, meski mungkin sudah telanjur juga.
Dengan terburu-buru tanpa persiapan, kami melakukan “group video call”: kakak saya yang nomor dua memimpin doa, memberikan sedikit kenangan tentang papa kami, dan saya berbicara sedikit berusaha menyampaikan selamat jalan pada peti dingin berplastik itu. Mama dan adik saya berbagi satu ponsel dan lamat-lamat saya bisa mendengar mama saya, di tengah kresek-kresek sinyal, mengucapkan selamat jalan pada suaminya selama 51 tahun.
Proses berlangsung kurang lebih 15 menit sebelum peti papa masuk oven.
Pergi saat wabah di Jawa menggila
Papa pergi saat wabah di Jawa menggila. Papa ketularan Covid-19 di Bandung, kemungkinan dari mama yang mungkin ketularan dari aktivitas jual beli di warung kami atau dari pekerja rumah tangga kami yang datang kembali bekerja dari kampung setelah usaha jualan baso dia di Garut bangkrut.
Papa, 79, dan mama, 74, sudah divaksin komplit di pertengahan April 2021. Mereka juga jarang sekali keluar rumah dan sudah tak pernah lagi ke gereja. Interaksi dengan orang lain terjadi di warung kecil yang ditutupi plastik mika lebar di depannya. Papa bahkan sudah hampir-hampir tak pernah keluar rumah. Saya sendiri terakhir berkunjung ke Bandung pada Desember 2019 karena saya khawatir menulari orang tua. Tapi wabah rupanya menggila sehingga tingkat aktivitas tak tinggi yang ada di rumah kami di Bandung (warung kami lumayan sepi sejak ada Alfamart dan Indomaret dekat rumah) dan vaksin Sinovac rupanya tak menghindarkan orang rumah dari Covid-19.
Waktu mama sakit, dia tidak merasa itu Covid-19, atau mungkin tepatnya takut untuk mencari tahu. Kami anak-anaknya yang di Jakarta baru dikabari setelah dia hampir sembuh. Rupanya, belakangan saya tahu dari mama bahwa papa sering menemani mama waktu mama sakit.
Kalau tidak salah, tanggal 23 Juni, kami bertiga yang di Jakarta dikabari adik saya bahwa dia demam, sakit seluruh badan. Papa juga. Kakak saya mengirim rapid test antigen dan memandu orang satu rumah untuk menyogok hidung mengambil sampel. Hasilnya adik dan papa saya positif, mama saya negatif. Kami pikir, mungkin mama sudah sembuh. Belakangan ketika dites PCR, mama rupanya masih positif atau positif lagi (entahlah).
Kami bertiga sejak hari itu mengirim segala rupa dari Jakarta melalui aplikasi-aplikasi online: suplemen, obat, juice, kaleng oksigen, tabung oksigen, termasuk memesankan dokter online.
Pada tanggal 25 Juni papa mulai menunjukkan tanda-tanda kepayahan. Papa memang punya penyakit jantung, diabetes juga. Kami tiga anak di Jakarta sibuk mencari ruang rawat inap atau IGD di rumah sakit di Bandung. Sampai tanggal 28 tidak ketemu fasilitas di Bandung, sampai akhirnya dapat di Cibubur di rumah sakit swasta yang lumayan mahal. Kami menyewa taksi yang memang khusus menjemput pasien Covid-19, sopirnya datang sudah mengenakan APD lengkap. Taksi ini lalu meluncur ke Cibubur. Saya dari rumah di Tangerang Selatan pun meluncur ke Cibubur untuk menyambut papa.
Saat menunggu beberapa jam tersebut saya menulis utas di Twitter, terus terang dalam keadaan marah pada pemerintah yang tidak peka bahwa sistem kesehatan di Bandung dan Jabodetabek, dan mungkin di seluruh Jawa, sudah kolaps. Setelah curhat di Twitter, saya cukup lega, kepala tak lagi kepanasan. Rupanya banyak yang mengalami seperti saya dan bercerita di Twitter.
Kami semua dalam keadaan sialan ini berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga yang sakit.
Tapi papa mungkin sudah siap pergi. Setibanya papa di IGD Cibubur, papa sudah hilang kesadaran, saturasi oksigen 50. Saya diminta menandatangani surat pernyataan bahwa saya sadar keadaan dan risiko dan tidak akan menuntut rumah sakit. Saya menangis di depan dokter.
Setelah kurang lebih 24 jam di IGD rumah sakit, papa pergi. Kami tidak bisa ada di dekatnya, kami tidak bisa melihat dia. Terakhir saya melihat tubuh kurus papa adalah saat perawat mengangkat badan papa dari taksi ke ranjang rumah sakit.
Saya butuh penanda
Ini bukan soal tidak ikhlas papa pergi. Saya ikhlas. Papa memang banyak kesakitan, selama sekitar dua tahun ada banyak hari-hari di mana papa cuma berbaring di tempat favoritnya, yaitu sofa di depan TV di ruang keluarga di Bandung.
Ini perkara berduka dengan benar. Dan saya baru sadar setelah mengalami kehilangan di masa wabah bahwa (sebelum wabah) cara masyarakat kita berduka, dengan seluruh ritual agama, kepercayaan, dan budaya yang melekat di dalamnya, adalah cara berduka yang benar, yang mengizinkan tiap orang yang merasakan duka melepas rasa sedihnya sehingga siap melangkah tanpa beban.
Sekarang saya sungguh paham mengapa di dunia ini ada peratap bayaran. Mereka ada sebagai penanda bahwa saya boleh nangis menggerung-gerung dan melepaskan perasaan yang saat ini masih gentayangan di dada saya, terjebak tak bisa keluar. Saya bayangkan, saya melakukannya bersama-sama orang yang mengenal papa saya dalam sebuah ruangan berbagi duka, entah di rumah duka, entah di rumah, entah di pemakaman, dan itu adalah cara terbaik yang bisa didapatkan seseorang.
Selesai kami berdoa, petugas krematorium mendorong peti papa ke arah oven lalu didorong masuk. Kami telah menunjuk kakak sulung untuk menekan tombol menyalakan api di oven kremasi. Petugas memberi aba-aba, dan api pun menyala. Ashes to ashes, dust to dust.
Papa, sampai ketemu lagi.