Dalam Upaya Menghapus Penggusuran Paksa di Indonesia

Kesaksian di Mahkamah Konstitusi 10 Januari 2017

Evi Mariani
5 min readApr 23, 2017
Seorang anak menghapus buldozer simbol penggusuran karya Arut S. Batan. Gambar untuk kaos Pelatihan Menulis Islam Bergerak bersama warga rusunawa Jatinegara Barat tahun 2016. Credit: Evi Mariani

Pada tanggal 10 Januari 2017 saya diberi kesempatan mengambil bagian dalam upaya menghentikan penggusuran paksa di Indonesia dengan memberi kesaksian di Mahkamah Konstitusi. Kesaksian saya berdasarkan pengalaman meliput dan memimpin tim liputan mengenai penggusuran paksa di Jakarta sejak zaman gubernur Sutiyoso, Fauzi Bowo, Joko Widodo hingga Basuki Tjahaja Purnama.

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alldo Felix Januardy, seorang Tionghoa muda yang saya kagumi, meminta saya membantu judicial review atau pengujian UU PRP №51/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Saya bersaksi bersama dua ahli, sejarawan JJ Rizal dan antropolog UI Yudi Bachrioktora.

Demikian kesaksian saya:

Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,

Nama saya Evi Mariani Sofian, juga dikenal dengan nama Evi Mariani. Saya seorang wartawan dan saat ini saya adalah redaktur di harian berbahasa Inggris The Jakarta Post.

Saya telah menjadi wartawan selama kurang lebih 15 tahun dan pada tahun 2003 dan 2004 saya meliput belasan penggusuran di Jakarta yang saat itu dilakukan di bawah pemerintahan Gubernur Sutiyoso. Saya meliput sendiri penggusuran komunitas nelayan di Kali Adem Muara Angke, penduduk di dekat Taman Anggrek yang sekarang menjadi Podomoro City, warga Jakarta di Waduk Ria Rio di Jakarta Timur, dan beberapa tempat lainnya.

Pada tahun 2014 hingga 2016 saya menjadi redaktur desk perkotaan di The Jakarta Post dan memimpin enam wartawan yang telah meliput beberapa peristiwa penggusuran di Jakarta seperti penggusuran di Pinangsia, Jakarta Barat; Kampung Pulo, Jakarta Timur; Pasar Ikan/Kampung Akuarium Jakarta Utara; Kalijodo Jakarta Utara; dan Bukit Duri di Jakarta Selatan. Dalam beberapa kejadian saya sendiri turun ke lapangan untuk meliput penggusuran sendiri.

Pengacara, pemohon, saksi, dan saksi ahli berfoto bersama seusai sidang di Mahkamah Konstitusi 10 Januari 2017.

Kami juga meliput keadaan warga sesudah penggusuran baik yang tidak mendapat rusunawa maupun yang mendapatkan rusunawa.

Dari pengalaman profesional saya sebagai wartawan saya mendapati meski ada beberapa perbedaan dari satu penggusuran ke penggusuran yang lain, juga ada beberapa perbedaan antara penggusuran di awal tahun 2000an dengan penggusuran baru-baru ini, ada pola yang sama dan berulang.

Pertama, di kebanyakan penggusuran ada kekerasan dalam bentuk alat berat yang menghancurkan rumah dengan paksa. Dalam beberapa kasus bahkan ada kekerasan fisik.

Penggusuran hampir selalu dilakukan dengan pengiriman ratusan aparat gabungan, dalam beberapa kasus bahkan melibatkan tentara. Misalnya, untuk menggusur Kalijodo, pemerintah daerah Jakarta mengirim 6.000 Satpol PP, polisi dan tentara untuk mengosongkan wilayah yang dihuni kurang lebih 3.000 orang.

Kedua, di banyak kasus, warga tidak diberi kesempatan yang cukup luang untuk mengajukan keberatan di pengadilan. Contohnya dalam kasus Kampung Pulo, keberatan diajukan setelah rumah mereka rata dengan tanah. Dalam beberapa kasus bahkan ada yang tidak sempat menyelamatkan barang mereka sendiri.

Saya sendiri pernah mewawancarai seorang ibu, bernama Saliyem, di rusunawa Pesakih di Jakarta Barat, yang mengatakan bahwa keluarganya digusur tahun 2013 dan bengkel reparasi elektronik milik suaminya yang berada di rumah mereka di Rawa Buaya, Jakarta Barat, dihancurkan alat berat sehingga 10 TV milik pelanggan ikut hancur. Sore harinya, suami ibu Saliyem mengais di tumpukan puing rumah mereka untuk mencari ijazah S1 anak mereka yang telah lulus dari Universitas Gunadarma di Depok.

Ketiga, ada proses pemiskinan yang terjadi bahkan pada keluarga yang mendapatkan hak untuk menyewa rusunawa sekalipun. Dalam kasus penggusuran komunitas nelayan di Muara Angke tahun 2003, saya mendapat cerita dari warga nelayan bahwa keluarga mereka telah mengalami penggusuran selama tiga generasi. Kakek mereka digusur dari Ancol untuk pembangunan Ancol, lalu pindah ke Muara Baru, lalu digusur lagi, dan pindah ke Muara Angke dan mereka digusur juga dari Muara Angke.

Dalam hal warga atau keluarga mendapat hak menyewa rusunawa pun pemiskinan tetap terjadi karena warga yang tadinya memiliki aset berupa rumah yang dijadikan ruang produksi (memasak makanan untuk dijual, membuka warung kecil-kecilan) menjadi harus menyewa rusunawa (tanpa kepemilikan) sementara banyak di antara mereka yang akibat penggusuran kehilangan mata pencaharian.

Tahun lalu saya membantu warga rusunawa Jatinegara Barat untuk menuliskan sendiri kisah mereka setelah penggusuran dan contohnya Pak Uming, menuliskan bahwa ia dua kali digusur di bulan Agustus 2014 dan 2015, pertama tempat usahanya, yang kedua di 2015 rumahnya. Anaknya juga kehilangan pekerjaan karena toko tempat ia bekerja digusur di 2014.

Pak Uming Credit: Yusni Azis untuk buku Menulis untuk Mengingat

Sejak itu Pak Uming kerja serabutan dan mengalami penurunan pemasukan sementara pengeluaran dia bertambah untuk membayar sewa rusunawa.

Keempat, dalam liputan-liputan kami, kami juga menemukan bahwa penggusuran telah melanggar hak anak atas pendidikan karena kerap tidak menimbang tahun akademis.

Maharani, yang pada tahun 2015 ketika diwawancarai berusia 14 tahun mengatakan penggusuran atas rumahnya di Pinangsia terjadi sehari sebelum ujian akhir sekolah. Selain tidak ada pertimbangan tahun akademis, penggusuran juga mengubah hidup anak-anak secara negatif. Pandu, 13, misalnya, mengatakan ia kehilangan banyak teman-teman di Pinangsia setelah penggusuran sementara Ayu Fitria Zinatul, 11, mengalami kesedihan karena kucingnya terlindas alat berat ketika penggusuran di Kampung Pulo, Agustus 2015.

Kelima, banyak keluarga-keluarga yang digusur menolak rusunawa karena mereka menganggap rusunawa sebagai kompensasi yang kurang layak. Akibatnya ada beberapa warga yang bertahan di atas puing puing, seperti misalnya warga di Pinangsia yang kemudian digusur kedua kalinya dan warga Pasar Ikan yang masih bertahan di tenda-tenda. Tidak ada rembukan mengenai kompensasi yang menurut warga lebih layak, misalnya dalam kasus Pasar Ikan, mereka menolak rusunawa karena jaraknya yang lebih dari 20 kilometer dari tempat kerja mereka. Meskipun ada bantuan pelatihan kerja, seperti misalnya di rusunawa Marunda, kerap tidak banyak membantu karena ada beberapa rusunawa yang berlokasi kurang strategis sehingga mereka tidak bisa mendapatkan pembeli yang cukup.

Keenam, dalam banyak liputan kami, kami mendapati banyak warga yang tidak tahu alasan pasti mengapa mereka digusur. Ada beberapa kasus di mana peta penggusuran berubah-ubah. Misalnya warga Pinangsia yang telah bernegosiasi untuk merelakan 5 meter tanah tapi mendadak mendapat info semalam sebelum penggusuran bahwa pemda berubah pikiran dan dari 5 meter berubah menjadi 10 meter. Demikian pula warga Pasar Ikan yang tidak mengetahui secara pasti dan tidak pernah mendapat informasi resmi mengenai mengapa mereka digusur meski mereka membayar PBB tiap tahun.

Saya juga pernah mewawancara warga Kampung Tongkol di Ancol Jakarta Utara yang terancam digusur. Ketika wartawan bertanya kapan akan digusur, jawaban salah satu warga, saudara Gugun Muhammad, adalah: Ini seperti kematian, tidak ada yang tahu kapan datangnya.

Yang Mulia Majelis Hakim,

Berdasarkan liputan yang saya lakukan, saya mendapati salah satu dasar hukum yang digunakan untuk menggusur adalah UU №51/1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin. Namun dalam beberapa kasus saya mendapati ada warga yang merasa mereka bukanlah penduduk liar karena ada KTP sesuai alamat rumah yang digusur, juga membayar PBB. Ada juga yang memiliki verponding namun tidak ada kesempatan bagi warga tersebut untuk mengajukan buktinya ke pengadilan.

Yang Mulia, demikian kesaksian yang bisa saya berikan, terima kasih dan salam sejahtera.

--

--

Evi Mariani

Journalist and founder of public service journalism initiative, Project Multatuli, at projectmultatuli.org.