Belajar Bahasa Indonesia di Usia 40 Tahun
Perjalanan hidup kerap membawa kita ke tikungan tak terduga. Saya tidak pernah membayangkan saya harus belajar bahasa Indonesia lagi di usia 40. Betapa pengalaman ini membuat saya rendah hati; saya harus menerima banyak keyakinan saya salah.
Embus bukan hembus. Antre bukan antri. Mengilat bukan mengkilat, tapi mensyaratkan bukan menyaratkan. Untung saya selama ini pendukung kelas berat “mengubah”. Paling tidak martabat saya utuh di kasus itu.
Selain asumsi salah selama ini saya juga menemukan pengungkapan mengguncang. Misalnya, saya baru tahu (ya ampun) bahwa tilang itu adalah singkatan. Dan istilah pengepul itu bukan dari kata dasar “kepul” melainkan dari kata dasar “pul”. Saya baru tahu ada kata dasar pul yang setelah saya pelajari artinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia pastinya berupa serapan dari bahasa Inggris: pool. “Penge-pool”, saya ketawa sendiri malam-malam sampai kepala mendongak ke langit-langit.
Satu hal lagi adalah penemuan menyenangkan seperti “nawala” untuk newsletter dan “galat” untuk error. Saya suka nawala, tapi masih ragu menggunakan galat karena ada padanan yang juga cukup cocok: kesalahan.
Faktor pendorong dari “ngecot”-nya jalan hidup saya yang biasanya tidak berurusan dengan kaidah bahasa Indonesia adalah pindah kerja. Hampir 15 tahun saya menjadi wartawan di The Jakarta Post. Berhubung bahasa Inggris bukan bahasa ibu saya, maka belasan tahun saya dedikasikan untuk mengasah kemampuan menulis bahasa Inggris supaya “native editor” di kantor tidak memandang sebelah mata.
Sebelum kerja di The Jakarta Post, saya menulis bahasa Indonesia (skripsi, makalah) di Universitas Gadjah Mada menggunakan banyak asumsi yang salah. Ini baru saya sadari. Mungkin saat ini tulisan saya juga masih banyak salahnya. Ayo silakan ditunjuk mana salahnya. Biar saya belajar. Hehe. Huhu.
Sejak bulan April 2017 saya bekerja sebagai editor di The Conversation edisi Indonesia yang rencananya terbit Agustus 2017 dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagai editor, tentu tidak bisa lagi main-main memandang bahasa Indonesia. Maka belajar lagilah saya.
Maka saya baru tahu, bahwa sudah beberapa tahun kita tak lagi menggunakan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Jadi tidak bisa lagi ada kalimat seperti ini: bahasa Indonesia si Mamat tidak EYD.
Ih ketinggalan zaman. Kalimat yang mutakhir harusnya: bahasa Indonesia si Mamat tidak PUEBI.
PUEBI adalah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Dan mumpung saya sedang membahas PUEBI, apakah Anda tahu bahwa PUEBI menganut koma serial atau yang disebut sebagai “Oxford comma”? Koma serial adalah jeruk, apel, dan pisang. Bukan jeruk, apel dan pisang.
Jangan anggap enteng. Urusan koma serial ini sudah menjadi perdebatan panas di Amerika. Bahkan seperti dilansir theonion.com ada empat redaktur terbunuh dalam perseteruan gang antara penganut gaya selingkung The Associated Press dan Chicago Manual Style. Kekerasan antar gaya selingkung ini bahkan memakan jiwa orang yang sedang berjalan melewati perkelahian. Bukan karena tertembak, namun dia menembak diri sendiri karena tidak tahan terjebak dalam perdebatan sangat panjang tentang koma serial.
(PS: Ya saya tahu The Onion adalah terbitan yang sarkas. Saya sebenarnya tidak mau memberi keterangan ini karena lucunya jadi berkurang. Tapi sudah ada beberapa teman mengirim pesan pribadi pada saya karena mereka tidak yakin saya tahu The Onion itu sarkas.)
Tentu Anda tidak salah jika menuduh saya bolak-balik mengecek kamus bahasa Indonesia daring (yang ini singkatan, saya tahu. Hore) untuk menulis ini. Tidak apalah mengakui kebodohan ini karena saya tahu, yang lebih parah dari saya banyak. Dan mungkin tidak masalah juga kalau kita tidak bekerja di bidang penulisan atau penerjemahan bahasa Indonesia. Toh, aturan tata bahasa kan tidak boleh kaku. Bahkan boleh saja dilanggar.
Bagi yang terilhami belajar juga saya berbaik hati membagi rujukan-rujukan berharga yang saya temukan di dunia siber:
1. Aplikasi telepon KBBI V
2. Kateglo.com
3. Follow Twitter Ivan Lanin
4. Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko
5. Tulisan-tulisan Eko Endarmoko dan Ivan Lanin di internet dan media massa
6. PUEBI daring dari Ivan Lanin
Saya juga banyak dibantu oleh redaktur bahasa Tempo, Mas Uu Suhardi yang dengan dermawan memberi banyak wawasan tentang prinsip peleburan k, p, s, t dan perkecualiannya. Mas Uu berprinsip, perkecualian boleh namun sesedikit mungkin.
Jadi Anda memesona atau mempesona? Siapa yang bisa mengkonfirmasi atau mengonfirmasi pesona Anda?